Tag
afifah afrah amatullah, bulan mati di javasche orange, epik sejarah, hindia, historical fiction, Johanna Rijkard, komunis, pan islamisme, peluru di matamu, PKI, sejarah indonesia, syahid samurai
Sebenarnya saya sudah menamatkan ketiga buku epik ini sejak bertahun-tahun yang lalu. Kisah heroik ini benar-benar memukau, dimana patriotisme, cinta dan perjalanan spiritual mewarnai kehidupan tokoh-tokoh utama dalam novel epik sejarah ini. Buku yang merupakan sebuah trilogy ini memiliki titik konflik masing-masing di tiap bukunya. Namun tentu saja ada benang merah yang menghubungkan ketiganya. Masing-masing terjadi dalam masa-masa kelam sejarah Indonesia.
1. Buku Pertama : Bulan Mati di Javasche Orange
Prince George (Mahmud Ali Syah) dikirim ibunya ke Hindia Belanda (Indonesia) begitu sang ibu yang merupakan bangsawan penting di Inggris mengetahui ia terlibat gerakan pan Islamisme menentang Kemal Pasya Attatruk di Mesir, tempat ia menuntut ilmu.
Ia kemudian bertemu dengan Johanna alexander Rijkard, temannya ketika kuliah. Sejak awal ia sudah terpikat pada pesona gadis itu yang merupakan putri tunggal dari seorang pejabat di Hindia Belanda. Pada akhirnya ia menikahi Johanna, meskipun mereka berbeda agama.
Persahabatan mahmud dengan pribumi bernama Hamzah Ikhwani semakin menimbulkan rasa bersalah di hatinya. Dari Hamzah, ia kembali merasakan suasana religius yang kental. Selain itu ada oportunis Raden Anggoro Karto Saputro yang tergila-gila pada Johanna. Cerita makin rumit dengan kepulangan Parmin, teman Hamzah di pesantren dulu yang telah berpindah haluan menjadi seorang komunis.
Berbagai kejadian menyebabkan peristiwa-peristiwa tragis terjadi terhadap Johanna dan Mahmud. Saat Johanna mengetahui sebuah rahasia penting tentang dirinya dan Hamzah, takdir membuatnya kehilangan semua orang yang dicintainya termasuk suaminya.
Buku 2 : Syahid Samurai
Johanna mengira suaminya, Mahmud Ali Syah sudah meninggal. Padahal ia sedang hamil. Ditengah keputusasaan, ia berniat untuk bunuh diri. Namun takdir mempertemukannya dengan seorang wanita sufi yang kemudian menjadi gurunya. Bersama sang guru ia yang kemudian diberi nama Khadijah mengalami perjalanan spiritualnya ke berbagai tempat. Penuh keprihatinan ia membesarkan anaknya, Umar.
Sementara Mahmud yang belum berhasil menemukan Johanna, akhirnya menikahi gadis pesantren sholeha. Pertemuannya kembali dengan Khadijah yang telah menjadi muallaf menjadi dilema sendiri. Indonesia pasca usainya kolonialisme menjadi tempat yang paling tidak aman bagi orang-orang Eropa. Khadijah mengalami pedihnya kehidupan dibawah pemerintahan Jepang. Namun tak ada yang lebih menyakitkannya selain perpisahan dengan putranya, Umar. Ketika menjalani kerja Rodi Khadijah hampir diperkosa kalau tidak ada samurai tanguh yang menolongnya, Akiro Fujiwara. Sejak awal Akiro sangat mengagumi kesalehan Khadijah, berkali-kali ia bertentangan dengan sesamanya dmei menolong Khadijah.
Selama itu, ia menemukan cinta baru selain cintanya pada Khadijah. Ia mulai mengenal cahaya islam. Namun perang terus bergulir, Belanda kembali menguasai Indonesia. Akiro membuktikan cintanya, bukan sekedar cintanya pada Khadijah.
Buku 3 : Peluru di Matamu
Jack, laki-laki tampan yang menjadi idola di kampusnya tergila-gila pada Ivana Martin. Demi Ivana ia rela melakukan apa saja. Ia tak pernah tahu bahwa Ivana, tokoh komunis itu hanya memanfaatkannnya.
Demi Ivana pula akhirnya ia bertemu dengan kedua orang tuanya di Indonesia, Khadijah dan Mahmud. Hanya saja kali ini misinya bukan sekedar “pulang kampung”.
Sementara itu Mahmud tidak hanya dipusingkan dengan pemikiran bagaimana supaya ia bisa bersikap adil pada kedua istrinya. Lebih dari itu, pesantren yang dipimpinnya berulang kali mendapatkan masalah, di duga ada penyusup dan pengkhianat didalamnya. Tanpa disadari pengkhianat itu adalah putra dan adik iparnya sendiri.
Pamungkas dari seri ini benar-benar menguras emosi saya. Well, gambaran tentang PKI di novel ini benar-benar membuat saya muak. Kadang mata ini sampai berkaca-kaca. Yang paling menyebalkan tentu saja Jack (Umar) dan Ivana. Namun, berikutnya saya ikut merasakan penyesalan Jack yang mendalam setelah ia mengantarkan ayahnya sendiri ke tiang gantungan. Matanya yang jadi pujaan gadis-gadis itu telah menjadi peluru yang mematikan bagi kedua orang tuanya.
***
Saya tidak pernah bosan untuk membaca novel ini lagi dan lagi. Tidak hanya drama, mbak Afra menyisipkan sejarah yang sangat detail. Menakjupkan karena mbak Afrah sendiri sebenarnya dulu kuliah di Fakultas MIPA. Kalau tidak salah, novel “Bulan Mati di Javasche Orange” menerima penghargaan dari depag (agak-agak lupa lembaganya). Rekomendasi banget untuk yang ingin menikmati fiksi sejarah dan cerita epik. Lima bintang…
Buku-buku ini terbit tahun 2001-2003. Namun mengingat banyaknya buku-buku pada masa pertumbuhan sastra alami yang republish, sepertinya bukan tak mungkin bila buku ini akan diterbitkan kembali. Terus terang saya berharap buku ini kembali diterbitkan berupa satu buah buku utuh (tidak dipisah-pisah).
saya juga udah baca novel iniii!! bagus banget yaah. waktu itu saya masih SD waktu novel ini terbit. keren laah pokonya novel ini!!