Tidak ada tragedi yang lebih memilukan selain terusir dari negeri sendiri
Selama ini saya sudah sering membaca literatur tentang nestapa bangsa Palestina. Selama itu saya meyakini bahwa perang di Palestina adalah antara umat muslim dan umat yahudi. Dan keyakinan itu saya tumpuk sejak SMP, sampai saya membaca buku ini…
Tidak seperti novel-novel lain bertema Palestina yang saya baca -yang sangat kental nuansa keislamannya- novel ini justru diceritakan dari sudut pandang Yousif, seorang pemuda nasrani. Tahuilah saya, sebelum invasi zionis biadab itu umat islam, kristen dan bahkan yahudi hidup damai dan saling tolong menolong di Palestina yang indah.
Cerita bermula di tahun 1947,saat mandat Inggris atas palestina berakhir. Yousif masih duduk di sekolah menengah saat itu. Ia berasal dari keluarga berada, ayahnya seorang dokter dan penganut nasrani yang taat. Yousif berteman akrtab dengan Amin dan Isaac. Amin yang beragama islam berasal darti keluarga menengah ke bawah. Sedangkan Isacc seorang yahudi. Bersama-sama mereka menjalani masa pubertas seperti kebanyakan remaja lainnya. Dan tentu saja ada cintya-cintaan juga.
Yousif jatuh hati pada Salwa, putri teman ayahnya. Salwa adalah seorang gadis yang sangat cerdas dan berpikiran sangat maju untuk jamannya. Namun sesuai adat yang telah berlaku saat itu, Salwa telah dijodohkan dengan pria mapan yang 15 tahun lebih tua dari usianya. Yousif yang masih dianggap anak kecil tentu saja patah hati. Namun petaka sesungguhnya datang di bumi Palestina, kali ini bukan sekedar patah hati.
Mulanya Yousif cs melihat sekelompok turis melakukan tindakan mencurigakan di bukit Tuhan. Mereka curiga itu adalah mata-mata zionis. Namun sayangnya tidak ada yang percaya pada cerita tiga bujang tanggung ini selain paman Bahasyim. Rakyat Palestina yang biasa hidup damai sulit menerima hal ini. Bahkan ketika Inggris menyerahkan sebagian weilayah Palestina untuk israel setelah mandatnya berakhir. Ayah Yousif masih yakin Palestina akan baik-baik saja sehingga menolak pembelian senjata. Sampai disini saya tak bisa tidak membenci Inggris yang ternyata punya andil dalam membantu penjajahan Palestina. Lalu setelah membuat masalah seenaknya memindah tangankan hal ini ke PBB. Dan ternyata PBB sama brengseknya.
Situasi makin mencekam, Israel mulai membumihanguskan sebnuah kota di Palestina. Dan kebiadaban Israel sungguh menjadi-jadi, para tentaranya bahkan memperkosa wanita-wanita di depan keluarganya. Orang-orang kaya akhirnya mulai berpikir untuk migrasi ke negara tetangga. Sementara yang miskin tidak tahu harus berbuat apa. Perjuangan Yousif buklan lagi sekedar merebut hati Salwa tapi merebut kembalil Palestinanya.
Fawal dengan fakta-fakta sejarahnya yang akurat berhasil menyuguhkan dframa yang mengaduk-aduk emosi saya. Selama membacva novel ini, berkali-kali saya mengurut dada menahan sesak. Dan entah berapa kali saya mengutuk-ngutuk dan ingin meneriakkan :
Buka mata dong, siapa yang sebenarnya penjajah…
Tapi bagian paling memilukan bagi saya adalah saat Yousif dan Amin harus berhadapan dengan sahabatnya sendiri Isaac sebagai musuh. Perang benar-benar menyisakan kepiluan mendalam, tidak yang benar-benar menang dalam perang. Yang ada hanya kesedihan tak berkesudahan. (Tuh kan, makin emosional jadinya). Baiklah, dari pada saya makin sesdak napas dan mengunyah mouse sakiong geramnya, revbiew ini diakhiri saja. Dan saya minta maaf karena menjadi sedikit emosional.
Lima bintang untuk buku ini dan sangat direkomendasikan bagi teman-teman yang masioh belum paham fakta yang terjadi di Palestina. karena meskipun bergenre fiksi, sejarah dalam novel ini sangat akurat.
About The Author
IBRAHIM FAWAL lahir di Ramallah Palestina. Lalu pindah ke Amerika Serikat untuk menyelesaikan studinya sampai meraih gelar master dalm film dari UCLA. Bersama Sutradara kondang David Lean, ia menjadi asisten sutradara dalam film klasik Lawrence of Arabia.
Fawal tinggal di Birmingham, Alabama tempatnya mengajar film & sastra di Birmingham-southern College & University of Alabama. Ia mendapatkan gelar Ph.D dari Oxford University. Disertasinya Youssef Chahine, telah diterbitkan oleh British Film Institute. Di Atas Bukit Tuhan adalah novel perdana Fawal. Novel ini meraih PEN-Oakland Award untuk kategori Exelence in Literature dan diterjemahkan dalam bahasa Arab & jerman. (Menulis Cerita Fiksi)
FYI
1. Buku ini meraup banyak pujian dan menyabet penghargaan PEN-Oakland Award for Excellence in Literature.
2. Selama Perang Dunia I Inggris mengambil alih Yerusalem (1917) dan menetapkan kota itu di dalam The Palestine Mandate dari tahun 1922-1948
3. Penjajahan Israel ke palestina dimulai dengan Deklarasi Balfour pada 2 November 1917. Deklarasi Balfour atau Perjanjian Balfour merupakan sebuah surat yang dikirimkan Menteri Luar Negeri Inggris Arthur James Balfour, kepada Lord Rothschild, pemimpin komunitas Yahudi Inggris, untuk disampaikan kepada Federasi Zionis. Surat itu berisi hasil rapat Kabinet Inggris pada 31 Oktober 1917 yang menyatakan mendukung rencana-rencana Zionis mendirikan ‘tanah air’ bagi Yahudi di Palestina, dengan syarat bahwa tak ada hal-hal yang boleh dilakukan yang mungkin merugikan hak-hak dari komunitas-komunitas yang ada di sana. Sebagai balasan untuk komitmen dalam deklarasi Balfour, komunitas Yahudi akan berusaha meyakinkan Amerika Serikat ikut dalam Perang Dunia I. Kata-kata dalam Deklarasi Balfour kemudian digabungkan ke dalam perjanjian damai Sèvres dengan Turki Utsmani dan Mandat untuk Palestina. Berikut isi surat dari Albert James Balfour yang dikirimkan kepada Lord Rothschild:
Saya sangat senang dalam menyampaikan kepada Anda, atas nama Pemerintahan Sri Baginda, pernyataan simpati terhadap aspirasi Zionis Yahudi yang telah diajukan kepada dan disetujui oleh Kabinet. “Pemerintahan Sri Baginda memandang positif pendirian di Palestina tanah air untuk orang Yahudi, dan akan menggunakan usaha keras terbaik mereka untuk memudahkan tercapainya tujuan ini, karena jelas dipahami bahwa tidak ada suatupun yang boleh dilakukan yang dapat merugikan hak-hak penduduk dan keagamaan dari komunitas-komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, ataupun hak-hak dan status politis yang dimiliki orang Yahudi di negara-negara lainnya.” Saya sangat berterima kasih jika Anda dapat menyampaikan deklarasi ini untuk diketahui oleh Federasi Zionis (JAGORA)
4. Bangsa-bangsa Yahudi yang eksodus dari berbagai negara mendirikan negara Israel tahun 1948.
ok,… siapa yang salah sekarang? (yah sara lagi deh)
Dhampir (@peri_hutan) said:
wow lengkap banget reviewnya, belum pernah baca buku yang berlatar Palestina 🙂
bugot said:
Baca yang ini aja dulu mbak, sejarahnya lengkap 🙂
bugot said:
Baca yang ini aja dulu mbak, referensi sejarahnya lengkap 🙂
@alvina13 said:
perang ini nggak berkesudahan.. padahal udah lama >_<
bugot said:
Nggak akan selesai hingga batu berbicara >_<
astrid said:
haduh, ngomongin palestina-israel ini nggak ada habisnya ya =( kayaknya lebih baik kita ambil sisi emosional dan personal aja dari novel semacam ini, dibandingkan mempertahankan pendapat politis/agama siapa benar dan salah hehehe
bugot said:
Setuju mbak, tapi kadang2 emang suka gemes juga ngeliat pemberitaan yang ga berimbang 😦
bzee said:
saking emosinya sampe typo 😀
bugot said:
hihi, itu udah ciri khasnya mbak. Kayaknya susah banget buat ga tipo
tezar said:
bukunya masih tertimbun nih, padahal udah lama punya 😦
bugot said:
ayo dibaca mas *ngomporin*
Peni said:
*mark as to read*
desty said:
wah… jadi pengen baca. jarang2 ada fiksi berlatar Palestina
bugot said:
sebenarnya ada banyak mbak, tapi rata-rata dari sudut pandang muslim. Yang ini beda
renpuspita said:
Miris kalau liat perang di Palestina yang tak kunjung selesai. Dan baru tau juga kalau dulu umat2 beragama disana toleransinya tinggi.
Makasih buat reviewnya ya 🙂
bugot said:
iya bmbak, awlanya saya malah bingung ternyata kebudayaan kristen di palestina ternyata banyak juga
Oky said:
Manusia emang ga lepas dari yg namanya Serakah, demi kepentingan umat sendiri seringnya harus menyakiti dan mengorbankan umat lain.